
Kementerian Kebudayaan RI telah meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” pada Minggu (14/12) di Jakarta, sekaligus menetapkan 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional. Acara ini merupakan refleksi atas kegelisahan kebangsaan di tengah derasnya arus globalisasi dan era digital.
Buku sejarah ini adalah karya kolaboratif besar yang melibatkan 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan lembaga, menghasilkan total 7.958 halaman yang terbagi dalam 10 jilid utama.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, menegaskan bahwa negara bertanggung jawab merawat memori kolektif bangsa melalui penulisan sejarah. Ia mengakui adanya polemik, namun menekankan bahwa sejarah harus menjadi ruang dialog, bukan alat politik. Fadli menyoroti pentingnya pendekatan Indonesia-sentris untuk meluruskan cara pandang yang selama ini banyak ditulis dari sudut pandang kolonial. Buku ini diharapkan menjadi rujukan bagi masyarakat dalam memahami perjalanan bangsa, dari akar peradaban Nusantara hingga kini.
Editor Umum, Singgih Tri Sulistiyono (yang juga Ketua DPP LDII), membantah anggapan bahwa nasionalisme sudah ketinggalan zaman. Ia menyebut negara-negara motor globalisasi justru sangat protektif terhadap kepentingan negara-bangsanya. Singgih mengingatkan generasi muda agar keterbukaan terhadap pergaulan internasional harus diimbangi dengan kesadaran kebangsaan dan komitmen terhadap NKRI, karena negara adalah institusi yang mampu menjamin kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan.
Penulisan ulang sejarah ini dianggap sebagai upaya strategis untuk merawat ingatan kolektif dan memperkuat solidaritas kebangsaan, serta menempatkan bangsa Indonesia sejajar dalam perjumpaan budaya global (perspektif otonomi sejarah). Selain itu, narasi sejarah juga memiliki manfaat pragmatis sebagai rujukan kebijakan dalam menyelesaikan persoalan kontemporer, seperti sengketa pertanahan. Buku ini juga akan diproyeksikan sebagai bahan ajar dan menggunakan pendekatan digital humanities untuk menangkal hoaks.
Sementara itu dalam kesempatan yang berbeda, Ketua DPD LDII Kota Semarang, H. Suhindoyo P, S.E, M.M. menyampaikan bahwa inisiatif reformulasi sejarah nasional ini patut diapresiasi karena sangat selaras dengan upaya untuk mencetak generasi yang profesional religius.
“Pendekatan Indonesia-sentris adalah kunci agar anak-anak bangsa tidak tercerabut dari akar peradabannya sendiri. Kami di LDII selalu menekankan pentingnya Empat Pilar Kebangsaan, dan buku ini menjadi referensi yang kuat untuk membumikan rasa nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda yang kini sangat akrab dengan digital,” ujarnya.
Selain itu, penggunaan pendekatan digital humanities dalam penyusunan buku ini adalah langkah maju yang strategis. Di era banjir informasi dan hoaks sejarah, diperlukan narasi resmi yang kredibel dan mudah diakses.
“Kami berharap buku ini bukan hanya menjadi koleksi, tetapi juga benar-benar digunakan sebagai bahan ajar untuk membentengi mental dan identitas generasi muda dari pengaruh global yang negatif, sambil tetap membuka diri pada kemajuan internasional, sesuai dengan semangat 'Indonesia yang sejajar' dalam arus global,” tandasnya.